Rasulullah SAW. bersabda : “Syariat itu ucapanku, tarekat perbuatanku, dan hakikat keadaanku”.
Dengan merujuk pada sunnah-sunnah dan sabdanya, kita melakukan berbagai
ketaatan. Kita melakukan puasa ini dengan berpegang pada Al-Qur’an dan
sabda Nabi. Kita mengikuti petunjuk Nabi dalam bersahur, berpuasa,
berbuka dan berdoa di malam hari. Inilah ketaatan yang paling dasar,
bagian terluar dari pelaksanaan ajaran Islam. Inilah syariat.
Ketika kita mencoba menerapkan perilaku Nabi dalam perilaku kita, ketika
puasa Nabi juga menjadi puasa kita, kita memasuki ketaatan yang lebih
mendalam. Inilah tarekat. Ketika kita menyaksikan apa yang disaksikan
Rasulullah SAW. ketika tirai yang menutup mata kita dibukakan, kita
memasuki wilayah hakikat.
Syariat, tarekat, dan hakikat tidak bisa dipisahkan. Ketiganya berjalin
bersamaan dan tak terpisahkan dari kehidupan beribadah. Tidak mungkin
mencapai hakikat tanpa tarekat. Tidak mungkin mempraktekkan tarekat
tanpa syariat. Pada suatu pagi Rasulullah SAW. berjumpa sahabatnya
Harits. “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” tanya Nabi. Harits berkata : “Aku telah menjadi mukmin sejati.” Nabi kembali bertanya : “Hati-hati kamu bicara. Segala sesuatu ada hakikatnya. Apa hakikat keimananmu?”
Harits menjawab : “Aku menyaksikan penghuni surga saling berkunjung,
dan aku menyaksikan penghuni neraka saling menjerit. Aku melihat Arsy
Tuhan sangat jelas.” Rasulullah SAW. bersabda : “Kamu sudah bicara benar. Tetaplah dalam keadaan itu”.
Keimanan Harits akan alam ghaib adalah syariat. Apa yang disaksikannya
adalah hakikat. Amal ibadahnya dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa
Harits adalah seorang muslim yang selalu berpuasa siang hari dan shalat
malam yang panjang di malam hari – adalah tarekat yang mengantarkannya
pada hakikat.
Seperti kelapa, syariat adalah kulitnya yang keras, dagingnya adalah
tarekat, dan air kelapanya adalah hakikat. Para sufi sering menyebut
syariat sebagai hasil pengetahuan yang diperoleh dengan belajar ‘ilmul yaqin. Tarekat adalah ‘ainul yaqin, dan hakikat adalah haqqul yaqin. Sayyid Haidar Amuli menjelaskan bahwa semua ajaran Islam, sejak pokok sampai cabang, sejak ushul sampai furu’, sejak akidah sampai ibadah, selalu terdiri dari ketiga unsur yang tidak terpisahkan ini (Syariat, Tarekat an Hakikat).
Orang yang berpuasa dengan mengetahui tentang syariat, tarekat dan
hakikat, tentulah puasa yang dilakukannya mempunyai makna, dan tidak
cuma sekedar menahan lapar dan haus saja.
Sebagai seorang muslim yang diberikan hidayah oleh Allah, marilah kita
menjalankan puasa sesuai dengan anjuran-anjuran yang telah ditetapkan.
Memperbanyak amal ibadah sebagai lahan pencarian pahala dan keridhaan
Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar